Menunggu....
Akan terasa lama dan membosankan bila
kamu hanya berfokus pada apa yang kamu nanti, namun bila kamu bisa mengalihkan
ke hal lain yang menarik pikiran mu maka akan terasa sebentar. Seperti saat kamu memasak, menunggu hidangan
matang hanya dengan melihat dan membolak-balik sungguh terasa lama, namun bila
tangan kiri sambil memegang hp memutar drakor on-going eps teranyar sungguh
terasa cepat bahkan bisa gosong saking konsennya ke hp. Ini yang sering terjadi
pada saya. Saya seorang ibu rumah tangga
berusia 30 th jalan 31 th sebentar lagi
dan memang sangat menggemari drama dari negri gingseng Korea, selain karena
aktor yang keren memang ceritanya yang selalu membuat saya termotivasi melakukan
banyak hal, walaupun hanya saat tayang dramanya saja, hee...
Saya sekarang sedang mencoba
menghibur diri, sebenarnya saya memang sedang dalam fase menunggu, “2WW” para pejuang
IVF pasti sudah mengerti apa yang dimaksud 2WW, ya 2 minggu menunggu hasil. Apakah
kali ini memang sudah waktunya saya akan
mememberi keturunan pada suami saya, atau masih menunggu lagi kesempatan
selanjutnya. Saya pasrahkan saja pada Tuhan. Sekarang sudah hari ke-7 setelah 3
embrio cantik dengan kualitas baik ditrasver ke rahim saya. Semua usaha dengan bantuan medis telah
dilakukan, tinggal menunggu kuasa Tuhan. Saya sudah menjalani ini 2 kali,
sempat ada di postingan sebelumnya, saya
bukan orang kaya tapi saya bersyukur diberikan kesehatan, kesempatan dan juga
sedikit bekal biaya yang cukup untuk mencoba teknologi yang paling canggih
dalam bidang kesehatan reproduksi yang diciptakan manuasia. Sungguh saya sangat
bersyukur.
Jika sampai 2 kali saya berjuang
tentu bukan karena hal yang mudah atau
hal yang sulit, tak ada yang mudah untuk mendapatkan kepercayaan anugrah buah
hati dari Tuhan, dan tak ada yang mustahil bila memang sudah Tuhan yang
menghendaki, tak ada yang tak mungkin. Membingungkan mungkin kalimat saya,
maksudnya adalah karena kondisi saya memang yang tidak normal tidak seperti
wanita usia subur pada umumnya, saya menderita endometriosis atau kista coklat.
Sebuah keadaan yang diakatakan terjadi karena ada hal yang saya bawa berbeda
dari lahir, daya tahan tubuh saya atau imunitas saya tidak mampu mendorong
semua darah haid untuk keluar melalui vagina. Pada diri saya, darah haid justru
kembali ke dalam atau terjadi aliran balik dan darah menempel di beberapa organ
reproduksi, dia akan mengikuti perkembangan rahim dan lama-lama terjadi kista
dan peradangan. Inilah yang membuat para
penderita endometriosis kesakitan saat menjelang menstruasi dan biasanya di
awal menstruasi. Begitu pula yang terjadi pada diri saya, sehari sebelum
menstruasi saya akan meringkuk menahan sakit pada bagian syimpisis atau perut
bagian bawah, terkadang sampai muntah dan rasanya sungguh tidak enak.
Selain karena faktor tadi, memang
faktor pikiran atau stres sungguh berpengaruh. Suatu hari saya sedang kuliah mata
kuliah obstetri dan dosennya adalah seorang dokter SpOG, ia menjelaskan tentang
penyakit ini. Saya sebagai seorang mahasiswa kebidanan dengan pembawaan diri saya
yang sangat pemikir dan penakut, saya juga sering ragu dan tidak bisa berkata
tidak pada orang lain. Saya jadi terus memikirkan penyakit yang dosen jelaskan,
saya melihat diri saya sendiri yang saat
menstruasi memang kesakitan ditambah rasa takut yang berlebihan membuat
penyakit ini benar-benar yang terjadi
pada diri saya. Walau mungkin tidak sepenuhnya seperti itu prosesnya namun faktor stres memang menjadi yang sangat
berpengaruh. Stres adalah penyakit pikiran yang sulit disembuhkan. Namun semua sudah terjadi,
saya tidak bisa terus menyalahkan diri sendiri dan bergerak mundur, yang bisa
saya lakukan sekarang hanya tetap berusaha dan berdoa. Banyak yang saya ajak
berjuang, para teman-teman saya di grup Endometriosis Indonesia. Mereka memberi
saya semangat, terutama mbak Wenny Link
sebagai pendiri yang sudah berhasil memiliki buah hati walau harus berkali-kali IVF. Prinsip saya semasih
saya bernafas, semasih saya memiliki ovarium untuk menghasilkan telur dan
semasih saya dikaruniai rahim yang sehat
saya akan terus berjuang.
Pendukung utama saya, yang selalu
sabar, berfikir positif, dan selalu meyakinkan saya bahwa kami pasti bisa
adalah suami saya tercinta. Saat saya menulis ini, tak terasa mata saya seperti berair, memang
saya orang yang mudah menangis. Saya merasa terharu dan sangat bersyukur,
dianugrahi oleh Tuhan seorang pendamping yang tegar. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki ia
bersedia menerima saya apa adanya. Dia yang sebagian besar sifatnya adalah
kebalikan dari sifat saya terus berada di samping saya memberi dorongan,
keyakinan, agar saya bisa menajadi seseorang yang lebih kuat. Kadang saya
berfikir bila saya sendiri masih dengan
sifat dasar saya yang perfeksionis namun penakut dan peragu, ditambah saya adalah
si pemikir ulung yang dapat membuat diri
sendiri menjadi orang yang rendah diri. Saya sulit bersyukur dan
menerima keadaan saya. Bila saya masih diliputi semua sifat ini bagaimana saya
akan mengajarkan kepada anak saya bahwa menjadi “buruk” itu bukan suatu
kesalahan, menjadi buruk adalah suatu kebaikan bila kita mencintai diri kita
dan tetap bersyukur, sehingga tak ada tempat bagi rasa iri dan egois untuk
menjadikan diri paling utama dari orang lain. Menjadi diri sendiri dengan
segala kekurangan, namun memiliki sifat mau belajar dan rendah hati adalah
sifat yang semakin sulit dicari.
Bersama dia, saya belajar bahwa
segalanya tidak harus sempurna, namun apabila kita bisa menerima
ketidaksempurnaan dengan selalu bersyukur adalah hal yang terbaik. Banyak yang
saya pelajari darinya, bagimana ia menjadi seorang pribadi yang kuat dan
mencintai proses. Dimana saya sendiri adalah orang yang terpaku pada hasil
tanpa mau bertarung dengan kerja keras dalam proses. Sungguh sebuah anugrah,
saya dijodohkan di kehidupan ini dengan orang seperti dia. Mungkin memang
pasangan kita adalah manusia yang diciptakan Tuhan untuk melengkapi kekurangan
masing-masing dan berjalan selaras tanpa meninggi -rendahkan. Seperti pada keadaan kami sekarang ini, berada
pada sebuah proses dan belajar menikmatinya. Pernah pada suatu malam sebelum saya
menulis ini, saya merasa sangat pesimis, apalagi belum juga mengalami flek
sebagai tanda bahwa embrio akan tertanam saya terus memikirkan mungkin saya
tidak berani berharap lebih namun suami saya memberi keyakiann bahwa saya harus
yakin dan optimis, anggaplah bahwa saya sudah dalam keadaan hamil, sehingga
saya bisa melakukan hal-hal yang positif pada diri saya dan tentu juga pada calon
bayi yang ada di rahim saya. “Tugas kita adalah selalu optimis dalam hidup, dan
bila nanti saat mendapatkan hasil yang bukan ranah kita mungkin belum waktunya
atau masih negatif tetaplah tersenyum
dan berusaha, terima semua dengan ikhlas karena keadaan kita memang tidak
seperti orang lain yang normal, kita memang sulit untuk memiliki namun bukan
tidak mungkin”. “Percayalah suatu hari,
hal yang kita nanti akan tiba”. Itu kata-kata suami saya yang terus terngiang di
kepala saya. Sekarang saya belajar menikmati semua, walau tak mudah, walau
masih terlintas fikiran negatif namun jangan menyerah.
Komentar
Posting Komentar